skip to main |
skip to sidebar
Pesta demokrasi pemilukada Cagub dan Cawagub di sejumlah daerah tidak
lama lagi akan dilangsungkan. Ada salah satu kebiasaan yang tidak pernah
absen dilakukan banyak kandidat calon yang hendak ikut bertarung
memperebutkan kursi sebagai kepala daerah di masing-masing kabupaten
kota tempat berlansungnya pemilukada. Termasuk NTB
Memperbanyak
melakukan kunjungan silaturrahmi. Apalagi menjelang pilkada
dilangsungkan intensitas kunjungan silaturrami yang dilakukan tergolong
cukup tinggi. Tokoh, dan tempat yang akan dijadikan sebagai sasaran
melakuan silaturrahmipun bervariasi, dari tokoh/politisi kampungan,
hingga tokoh kawakan sekelas guru rohaniawan.
Kebiasaan calon kepala
daerah melakukan kunjungan silaturrahmi saat pemilukada tiba memang
bukan hal baru di tengah masyarakat, dan merupakan hal biasa. Sebab
ajaran agamapun menganjurkan setiap manusia memperbanyak menyambung tali
silaturrahmi dengan sesama. Tetapi dari sudut berbeda, yang menjadikan
kebiasaan ini menjadi tidak biasa dan mengundang tanda tanya? Manakala
sering dilakukan pada waktu pilkada. Setelah pilkada, yang tersisa
tinggal cerita.
Budaya silaturrahmi memang berbeda dengan
budaya/kebiasaan lain yang mesti harus melalui himbauan dan anjuran.
Kemungkinan baru ada yang melakukan. Kalau kepala bapeda NTB Dr. Rosiadi
dalam salah satu kesempatan, melalui tulisan opini yang dimuat harian
Suara NTB beberapa waktu lalu, menyerukan himbauan kepada setiap orang
senantiasa membiasakan budaya memuji. Meski entah apa yang mau dipuji.
Maka budaya silaturrahmi, tanpa diminta sekalipun akan tetap ada di
manapun dan kapapun, termasuk ketika musim pilkada tiba.
Agenda
kunjungan silaturrahmi tidak jarang diselingi rangkaian acara diskusi
dan pembicaraan yang pada ahirnya bermuara pada permintaan mengharapan
dukungan, dari yang terang-terangan, hingga sedikit main
kucing-kucingan, iming jabatan atau melalui pemberian sumbangan. Lain
halnya ketika berada di tengah masyarakat. Mereka seakan hadir, bak dewa
penyelamat membawa dan menyuguhkan misi perubahan, melakukan perbaikan
tingkat kesejahteraan masyarakat, yang saat ini masih cukup
memprihatinkan.
Pendekatan model ini dalam beberapa kali
pemilukada dilangsungkan, sedikitnya memang terbukti cukup efektip bagi
calon kepala daerah mempengaruhi masyarakat, terlebih kalau tokoh-tokoh
yang dinilai memiliki pengaruh besar di tengah masyarakat mampu
dikuasai, dengan meninggalkan sedikit imbalan berupa sumbangan uang
pembangunan, sebagai bentuk bahasa pemberitauan meminta dukungan.
Terbukti beberapa calon kepala daerah yang mengamalkan resep ini, dalam
beberapa kali pemilukada dilangsungkan, berpeluang mendulang suara besar
keluar sebagai pemenang.
Lambat laun istilah kata
“silaturrahmi Pemilukada” mulai pamilier tidak saja di kalangan tokoh
dan kelompok masyarakat tertentu. Masyarakat kalangan bawahpun perlahan
mulai paham dan akrab dengan istilah silaturrahmi Pilkada. Dari sisi
makna kata “silaturrahmi” pun mulai mengalami pergeseran dan di salah
tafsirkan. Beberapa waktu lalu, silaturrahmi sejumlah calon yang hendak
maju sebagai caleg, cabub maupun cagub, ke sejumlah tempat, yayasan dan
tokoh masyarakat, oleh masyarakat masih dipandang sebagai sesuatu hal
biasa sakral dan positiv.
Meski tidak dipungkiri, kalau agenda
pembicaraan bernuansa politis dipastikan tetap ada. Tetapi susana
religius yang berlansung didalamnya lebih kental terasa, ketimbang
nuansa politis, tidak terlalu kentara, sebagaimana berlansung sekarang.
Oleh sebagian besar masyarakat, kata “silaturrahmi” belakangan dimaknai
sebagai ajang berkumpul menikmati suguhan makanan dan bagi-bagi uang.
Lebih memprihatinkan, momentum semacam ini, tidak jarang dimanfaatkan
sebagain tokoh masyarakat, mengeruk keuntungan dan memperkaya diri
melalui sumbangan yang diberikan sejumlah calon, khususnya bagi mereka
yang berkepentingan terhadap pengembangan lembaga pendidikan/yayasan.
Sebagai bentuk persyaratan secara tidak lansung mengharap dukungan.
Lembaga pendidikan yang bernaung di bawah yayasan selama ini memang
senantiasa menjadi incaran paling menggiurkan, dijadikan sebagai objek
kebanyakan kontestan calon kepala daerah melakukan kunjungan
silaturrahmi. Lebih-lebi kalau pengelola yayasan merupakan sosok tokoh
rohaniawan, yang dinilai memiliki banyak pengaruh dan kewibawaan. Selain
mengharapkan dukungan pada saat pemilihan, juga sebagai ajang minta
didoakan mendapatkan kemenangan.
Posisi dan nilai tawar
seseorang sebagai tokoh berpengaruh, ditunjang dengan keberadaan sebuah
lembaga pendidikan, dalam pentas politik pemilukada, memang rawan
dimanfaatkan dan dijadikan sebagai sesuatu yang demikian mudah
dikomersilkan oknum tidak bertanggung jawab mengeruk keuntungan pribadi.
Pemilukada di mata sebagian masyarakat memang kerap salah
dipersepsikan. Masa pilkada yang semestinya dimanfaatkan sebagai
kesempatan menentukan pilihan secara slektif calon kepala daerah
berkualitas dan memiliki visi perubahan perubahan jelas, justru
ditafsirkan sebagai ajang mendapatkan keberkahan dan keberuntungan.
Mengajukan proposal kegiatan, minta sumbangan, menjadi rutinitas tidak
pernah terlewatkan.
Lebih memperihatinkan prilaku masyarakat
tersebut tetap berlansung sampai sekarang, dan secara tidak lansung
sebenarnya telah membuka ruang bagi para politisi, calon kepala daerah
yang secara kualitas dan kapasitas kepemimpinan tergolong lemah,
memainkan politik praktis mendapatkan kekuasaan. Politik yang hanya akan
menghasilkan pemimpin bermentalkan pencundang, menimbulkan
kesengsaraan, bukan perubahan. Lima tahun masa jabatan bisa jadi
dihabiskan sebagai kesempatan mengeruk kekayaan, mengembalikan modal
yang pernah dikeluarkan. Ketimbang melaksanakan agenda pembangunan dan
tanggung jawab meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tabiat
buruk politisi dari kalangan Caleg, Cabup dan Cagub mengumbar segudang
janji, memainkan politik praktis menjelang pemilukada akan tetap
berlansung, secara terus menerus, selama masyarakat masih membuka ruang
terbangunnya persepsi dan pandangan sejumlah politisi tentang pemilukada
yang hanya bisa diukur dengan uang. Saatnya memilih dengan hati nurani.